Tahukah kamu?

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

"TIPS MEMPERCANTIK DIRI DI HADAPAN ALLAH"

1. Agar wajah tampak berseri dan bercahaya.
- Basuhlah wajah kita dengan air wudhu' minimal lima kali sehari. Tak perlu dikeringkan dengan handuk. Biarkan wajah kita kering dengan sendirinya.

2. Agar tubuh sehat dan menjadikan hati bersih.
- Ambillah sajadah. Lalu Shalatlah dengan gerakan-gerakan Shalat yang benar. Jangan lupa berdzikir dan berdoa kepada-Nya.

3. Agar wajah tampak indah dipandang.
- Tebarkanlah senyum penuh ketulusan. Tak hanya di bibir. Tapi tembuskanlah dari dalam hati. Dengan sesekali berdoa kepada Allah,"Allahumma Kama Ahsanta Khalqi Fahassin Khuluqi (Ya Allah. Sebagaimana Engkau telah memperindah penciptaanku, maka perindah jugalah akhlakku)." (H.R. Ahmad)

4. Agar bibir tampak cantik.
- Perbanyaklah berdzikir dengan menyebut Asma Allah. Jangan lupa biasakan lisan berkata jujur. Dan tak suka menyakiti orang lain dengan perkataan.

5. Agar tubuh langsing dan sehat.
- Membiasakan diri berdiet. Yaitu dengan membiasakan diri puasa Sunnah Senin dan Kamis. Jangan lupa sisihkan sebagian makanan buat mereka yang tidak mampu.

6. Agar disayang Allah & sesama.
- Jangan berkelu lidah untuk sekedar menebarkan salam. Jangan lupa juga perkokoh ukhuwah Islamiyah sesama Muslim.

Jika kita bisa menjalankannya, bukan hanya kecantikan di mata manusia yang bakal kita raih. Akan tetapi kita akan tampak cantik di Mata Allah SWT yang akan membawa dan menempatkan kita selalu berada dalam ridha-Nya. Insyaallah.





SURGA DI BAWAH TELAPAK KAKI IBU
] sebuah hadits yang berbunyi: اَلْجَنَّةُ تَحْتَ أَقْدَامِ الأُمَّهَاتِ، مَنْ شِئْنَ أَدْخَلْنَ وَ مَنْ شِئْنَ أَخْرَجْنَ Surga itu di bawah telapak kaki ibu, siapa yang ia kehendaki maka akan dimasukkan dan siapa yang ia ingini maka akan dikeluarkan. (Silsilah al-Ahâdîts adh-Dha’îfah, no. 593) Kemudian kita jelaskan bahwa hadits dengan lafazh di atas adalah palsu. Dan ada juga yang lemah. (lihat: Dha’îf al-Jâmi’ ash-Shaghîr, no. 2666) Setelah itu kami tegaskan bahwa ungkapan yang masyhur ini adalah ucapan manusia semata (bukan hadits)[2]. Dan sampai di sini pembahasan singkat kita pada waktu itu. LAFAZH LAIN BERDERAJAT HASAN Namun perlu diketahui, ada riwayat lain yang semakna dengan hadits di atas dengan lafazh yang berbeda yang berderajat hasan. Yang mana secara maknanya menunjukkan bahwa surga itu di bawah telapak kaki ibu. Berikut bunyi hadits tersebut: عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ جَاهِمَةَ السَّلَمِيِّ أَنَّ جَاهِمَةَ جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَدْتُ أَنْ أَغْزُوَ، وَقَدْ جِئْتُ أَسْتَشِيْرُكَ. فَقَالَ: هَلْ لَكَ مِنْ أُمٍّ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: فَالْزَمْهَا، فَإِنَّ الْجَنَّةَ تَحْتَ رِجْلَيْهَا Dari Mu’wiyah bin Jahimah as-Salami bahwasanya Jahimah pernah datang menemui Nabi saw lalu berkata: Wahai Rasulullah, aku ingin pergi jihad, dan sungguh aku datang kepadamu untuk meminta pendapatmu. Beliau berkata: “Apakah engkau masih mempunyai ibu?” Ia menjawab: Ya, masih. Beliau bersabda: “Hendaklah engkau tetap berbakti kepadanya, karena sesungguhnya surga itu di bawah kedua kakinya.” Syaikh al-Albani berkomentar: “Diriwayatkan oleh an-Nasa`i, jilid 2, hlm. 54, dan yang lainnya seperti ath-Thabrani jilid 1, hlm. 225, no. 2. Sanadnya Hasan insyaAllah. Dan telah dishahihkan oleh al-Hakim, jilid 4, hlm. 151, dan disetujui oleh adz-Dzahabi dan juga oleh al-Mundziri, jilid 3, hlm. 214.” (as-Silsilah adh-Dha’ifah wa al-Maudhu’ah, pada penjelasan hadits no. 593)[3] Dan ada hadits lain yang lafazhnya berbeda dengan yang di atas. UCAPAN ULAMA SEPUTAR HADITS DI ATAS Ketika mensyarah hadits ini, Imam Ali al-Qari rah mengatakan: ”Maksudnya yaitu senantiasalah (engkau) dalam melayani dan memperhatikan urusannya”. (Mirqat al-Mafatih Syarh Misykat al-Mashabih, jilid 4, hlm. 676) Ath-Thibi mengatakan: ”Sabda beliau: ”…pada kakinya…”, adalah kinayah dari puncak ketundukan dan kerendahan diri, sebagaimana firman Allah ta’ala : وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan…”. (Ibid, (IV/677). Sedangkan as-Sindi mengatakan: ”Bagianmu dari surga itu tidak dapat sampai kepadamu kecuali dengan keridhaannya, dimana seakan-akan seorang anak itu milik ibunya, sedangkan ibunya adalah tonggak baginya. Bagian dari surga untuk orang tersebut tidak sampai kepadanya kecuali dari arah ibunya tersebut. Hal itu karena sesungguhnya segala sesuatu apabila keadaannya berada di bawah kaki seseorang, maka sungguh ia menguasainya dimana ia tidak dapat sampai kepada yang lain kecuali dari arahnya. Allahu a’lam. (Hasyiyah Sunan An-Nasa-i, karya as-Sindi, jilid 6, hlm. 11, dalam nuskhah yang dicetak bersama Zuhr ar-Rabaa ’Ala al-Mujtabaa, karya as-Suyuti) KESIMPULAN Dari penjelasan di atas dapat kita simpulkan, bahwa hadits dengan lafazh “Surga itu di bawah telapak kaki ibu” adalah lemah, bahkan ada riwayat lain yang palsu. Namun ada hadits lain yang secara makna menjelaskan bahwa ungkapan di atas adalah benar. Maka itu, ungkapan tersebut tidak dapat kita katakan salah secara mutlak lantaran adanya hadits hasan yang memperkuatnya. Wallahu a’lam. (Red) Majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Edisi 51, hal. 43-44



ORANG-ORANG YANG DICINTAI ALLAH


Di dalam Al Qur’an, Allah menyebutkan beberapa sifat atau jenis orang yang Ia cintai. Mereka yang dicintai Allah tentunya akan memperoleh rahmat, berkah, pertolongan dan keridhaan-Nya. Berikut ini adalah daftar sifat orang-orang yang dicintai-Nya tersebut.
Muhsinin (orang-orang yang berbuat kebaikan)
Empat kali Allah secara lugas menyatakan cinta-Nya kepada orang-orang dalam golongan Muhsinin [2:195, 3:134, 3:148, 5:13, 5:93]. Mereka adalah orang-orang yang:
·         Mengerjakan kebaikan
·         Membelanjakan hartanya di jalan Allah, baik dalam kesempitan maupun kelonggaran
·         Menahan amarah
·         Memaafkan orang lain dan tidak menghukum atau mendendamnya
Muttaqin (orang-orang yang takut kepada Allah)
Kecintaan Allah terhadap orang-orang yang takut atau bertakwa kepada-Nya terungkap tiga kali di dalam Al Qur’an [3:76, 9:4, 9:7]. Mereka adalah orang-orang yang memenuhi dan memegang teguh ikrarnya, baik janji kepada manusia dan terlebih lagi ikrarnya di hadapan Allah. Mereka istiqomah, konsisten dan teguh dalam menjalankan janji tersebut.
Muqsithin (orang-orang yang adil)
Selanjutnya, yang juga tiga kali disebutkan di dalam Al Qur’an adalah para Muqsithin atau orang-orang yang adil [5:42, 49:9, 60:8]. Allah mencintai mereka yang memutuskan perkara dengan adil, mendamaikan dengan adil dengan mempertimbangkan pihak-pihak yang bertikai dan melandaskan keputusan berdasarkan bimbingan Allah dan Rasul-Nya. Allah juga mencintai orang-orang yang adil terhadap orang-orang di luar kaum muslimin yang tidak menampakkan permusuhan mereka.
Muthahhirin (orang-orang yang membersihkan diri)
Kaum Mutahhirin atau orang-orang yang membersihkan diri juga dicintai oleh Allah [2:222, 9:108]. Dalam dua ayat-Nya, Allah menyatakan bahwa Ia mencintai orang-orang yang membersihkan dirinya dari kotoran dan najis. Allah juga mencintai orang-orang yang menyucikan dirinya, baik badan, fikiran maupun ruhani melalui ibadah sholat.
Dan berikut ini adalah sifat-sifat lain yang sekali saja muncul di dalam Al Qur’an sebagai orang-orang yang dicintai Allah:
·         Tawwabin (orang-orang yang bertaubat) [2:222]
·         Shabirin (orang-orang yang sabar) [3:146]
·         Mutawakkilin (orang-orang yang bertawakal) [3:159]
·         Mujahidin (orang-orang yang berperang di jalan-Nya dengan rapi) [61:4








 HANYA ALLAH YANG MAHA MENGHAKIMI


      Maha Suci ALLAH Penguasa Keabadian di bentangan jagad raya semesta, Maha Suci ALLAH Yang Maha Menghamparkan Angkasa Raya dengan Cahaya yang senantiasa berpijar mencerminkan keindahan NYA, Maha Suci ALLAH Yang Maha Mengasuh dan mengayomi pengaturan segenap makhuk NYA dilangit dan bumi,

"Maka Bertasbih Pada-NYA Seluruh Apa Yang di Langit dan bumi dan Dia Maha Perkasa dan Maha Menghakimi."(Surat Al-Hasyr ayat 24) 


Maka merugilah orang-orang yang bermaksiat kepada NYA, karena setiap dosa berarti pengingkaran atas NYA, dan Alam semesta ini tidak rela dengan pengingkaran atas ALLAH `Azzawajalla, sebagaimana firman NYA menceritakan bahwa Alam ini akan runtuh dan hancur karena dosa manusia yang menantang kemurkaan NYA.

”Hampir Saja Langit Itu Pecah, dan Bumi Terbelah dan Gunung-Gunung Hancur, Ketika Mereka Mengatakan Bahwa ALLAH Mempunyai Putra.”
(Surat Maryam ayat 90-91) 


Ayat ini menjelaskan bahwa alam semesta ini marah dengan pengingkaran manusia dimuka Bumi, namun ALLAH menghendaki agar alam ini bertahan dari kehancuran, maka ketika seorang hamba bermaksiat dengan anggota tubuhnya yang tentunya anggota tubuhnya itupun makhluk hidup yang milik ALLAH `Azzawajalla, sebagaimana kita ketahui bahwa tubuh kita ini merupakan rangkaian milyaran sel hidup yang masing-masing bertugas dengan tugasnya masing-masing, dan bila kita berdosa misalnya dengan lidah kita, maka berapa milyar sel yang kita libatkan dalam kehinaan?


Bagaikan seorang pemimpin yang berbuat jahat dan kelicikan maka tentunya semua pegawainya yang terlibat turut mendapat tuntutan, demikian pula bila kita ingin minum, padahal tubuh kita yang perlu minum namun tangan kita terlibat untuk mengambil air. Maka terlibatlah milyaran sel tubuh kita dalam dosa…


Merugilah mereka yang wafat dalam dosa dan belum sempat bertaubat, maka ia terkubur membawa seluruh dendam milyaran sel tubuhnya, terkubur membawa dendam Bumi, air, api, makanan, dan apa saja yang ia kotori dengan dosa dimasa hidupnya, setiap suap makan kita yang kita gunakan untuk maksiat akan menjadi dendam dan penuntutan mereka dihadapan ALLAH, demikian pula setiap debu yang kita injak, setiap teguk air, dan semua yang kita libatkan dalam dosa di alam ALLAH ini, bagaikan rakyat yang dilibatkan pengingkaran oleh seorang abdi raja, ditipu, dizalimi, mereka semua akan menuntut dihadapan Raja Alam semesta di hari Kebangkitan. Betapa menyedihkan mereka dihari kiamat, belum lagi dituntut oleh orang-orang yang mereka zalimi dimasa hidupnya, orang-orang yang mereka gunjing, yang mereka caci, maka ketika seorang hamba menghadap dihadapan ALLAH membawa kitab amalnya, ia melihat dan berkata :

”Wahai Tuhanku, aku pernah beramal ini dan itu namun mengapa catatannya tidak ada dalam kitab amalku ?”, Maka ALLAH menjawab : “Engkau menzalimi fulan, mengumpat fulan, menggunjing fulan, mengambil harta fulan, mengganggu fulan, menipu fulan, maka amal-amalmu banyak yang tercabut dan dipindahkan untuk mereka.” Maka hamba itupun melihat-lihat lagi kitab amalnya dengan sedih, lalu ia berkata lagi: “Wahai Tuhanku, ini dosa-dosa banyak tercatat dalam kitabku dan ini tidak pernah kulakukan”, Maka ALLAH menjawab: “Itu dosa-dosa orang yang kau zalimi dipindahkan pada kitab amalmu”. Maka tercabutlah pahala-pahala yang telah mereka perjuangkan di masa hidupnya, tercabut sebab ucapannya, sebab caciannya, sebab dosa-dosanya.




"Dan orang-orang yang beriman (kepada ALLAH)
dan mengerjakan amal-amal yang saleh serta beriman (pula)
kepada apa yang diturunkan kepada Muhammad
dan itulah yang hak dari Tuhan mereka,
ALLAH menghapuskan kesalahan-kesalahan mereka
dan memperbaiki keadaan mereka."
- surat Muhammad ayat 2.


Beruntunglah mereka yang selalu mensucikan dirinya dengan istighfar, sering hadir di majelis taklim dan majelis dzikir, maka mereka selalu dibersihkan dosa-dosanya oleh Yang Tunggal Memiliki Pengampunan, Beruntunglah para pencinta Nabi Muhammad ShalALLAHu`alaihiwasalam.. Karena sabda Rasul ShalALLAHu`alaihiwasalam:

”Seseorang akan bersama orang yang ia cintai.” 
(Shahih Bukhari dan Muslim)


Beruntunglah mereka yang mengikuti jejak para sahabat RadhiALLAHu`anhum, Betapa mulianya para sahabat dan betapa agungnya kecintaan mereka pada Nabi Muhammad ShalALLAHu`alaihiwasalam, Bahkan wafat mereka pun selalu ingin dekat dengan Nabi Muhammad ShalALLAHu`alaihiwasalam, bagaikan anak manja yang tak ingin jauh dari ibunya dalam segala keadaan, sebagaimana diriwayatkan ketika Rasul ShalALLAHu`alaihiwasalam baru saja mendapat hadiah selendang pakaian bagus dari seorang wanita tua, lalu datang pula orang lain yang segera memintanya selagi pakaian itu dipakai oleh Rasul ShalALLAHu`alaihiwasalam, maka riuhlah para sahabat lainnya menegur si peminta, maka sahabat itu berkata:

”Aku memintanya untuk kafanku nanti.”
(Shahih Bukhari)


Demikian cintanya para sahabat pada Nabinya ShalALLAHu`alaihiwasalam, sampai kain kafan pun mereka ingin yang bekas sentuhan tubuh Nabi Muhammad ShalALLAHu`alaihiwasalam.


Para sahabat adalah orang-orang yang dicintai ALLAH, demikian pula dari zaman ke zaman para pencinta Rasul ShalALLAHu`alaihiwasalam terus asyik dalam keluhuran, mereka tak mahu pisah dengan Nabi ShalALLAHu`alaihiwasalam sebagaimana anak dengan ibunya, bahkan Umar bin Khattab RadhiALLAHu`anhu berwasiat untuk dimakamkan disebelah Rasul ShalALLAHu`alaihiwasalam, dan ia berkata:

”Tiada yang lebih penting bagiku selain dimakamkan berdampingan dengan Nabi ShalALLAHu`alaihiwasalam.”
(Shahih Bukhari)


Demikian pula Abu Bakar as-Shiddiq RadhiALLAHu`anhu, yang saat Rasul ShalALLAHu`alaihiwasalam wafat maka ia membuka kain penutup wajah Nabi ShalALLAHu`alaihiwasalam lalu memeluknya dengan derai tangis seraya menciumi beliau ShalALLAHu`alaihiwasalam dan berkata:

”Demi ayahku, dan engkau wahai Rasulullah..., Tiada akan ALLAH jadikan dua kematian atasmu, maka kematian yang telah dituliskan ALLAH untukmu, kini telah kau lewati.”
(Shahih Bukhari) 


Adakah kita ingin termuliakan bersama para sahabat dalam mencintai Nabi ShalALLAHu`alaihiwasalam?, para sahabat bukanlah pasukan pembunuh yang hanya mengenal pedang dan perang, mereka bukan kelompok Barbar pemuja setan yang selalu ingin minum darah dan menikmati jeritan kesakitan, sebagaimana madzhab sempalan abad ke 20 yang hanya memahami para sahabat adalah pemuja perang, dan Nabi ShalALLAHu`alaihiwasalam adalah Pimpinan yang haus darah orang kafir dan haus kekuasaan, Na`udzubiLlah dari pemahaman sempit ini.


Mereka para sahabat adalah orang-orang yang selalu basah pipinya dengan airmata khusyu`, dan mereka adalah orang yang manja pada kekasihnya, Muhammad Rasulullah ShalALLAHu`alaihiwasalam, ALLAH jadikan aku dan kalian bersama para sahabat di hari kiamat, bersama Nabi Muhammad ShalALLAHu`alaihiwasalam, kekasih dan idola yang dipilihkan ALLAH untuk seluruh orang-orang yang beriman.




Ada sekian banyak pendapat yang berbeda tentang hukum merayakan tahun baru Masehi. Sebagian mengharamkan dan sebagian lainnya membolehkannya dengan syarat.
1. Pendapat yang Mengharamkan
Mereka yang mengharamkan perayaan malam tahun baru masehi, berhujjah dengan beberapa argumen.
a. Perayaan Malam Tahun Baru Adalah Ibadah Orang Kafir
Bahwa perayaan malam tahun baru pada hakikatnya adalah ritual peribadatan para pemeluk agama bangsa-bangsa di Eropa, baik yang Nasrani atau pun agama lainnya.
Sejak masuknya ajaran agama Nasrani ke eropa, beragam budaya paganis (keberhalaan) masuk ke dalam ajaran itu. Salah satunya adalah perayaan malam tahun baru. Bahkan menjadi satu kesatuan dengan perayaan Natal yang dipercaya secara salah oleh bangsa Eropa sebagai hari lahir nabi Isa.
Walhasil, perayaan malam tahun baru masehi itu adalah perayaan hari besar agama kafir. Maka hukumnya haram dilakukan oleh umat Islam.
b. Perayaan Malam Tahun Baru Menyerupai Orang Kafir
Meski barangkali ada yang berpendapat bahwa perayaan malam tahun tergantung niatnya, namun paling tidak seorang muslim yang merayakan datangnya malam tahun baru itu sudah menyerupai ibadah orang kafir. Dan sekedar menyerupai itu pun sudah haram hukumnya, sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Siapa yang menyerupai pekerjaan suatu kaum (agama tertentu), maka dia termasuk bagian dari mereka.”
c. Perayaan Malam Tahun Baru Penuh Maksiat
Sulit dipungkiri bahwa kebanyakan orang-orang merayakan malam tahun baru dengan minum khamar, berzina, tertawa dan hura-hura. Bahkan bergadang semalam suntuk menghabiskan waktu dengan sia-sia. Padahal Allah SWT telah menjadikan malam untuk berisitrahat, bukan untuk melek sepanjang malam, kecuali bila ada anjuran untuk shalat malam.
Maka mengharamkan perayaan malam tahun baru buat umat Islam adalah upaya untuk mencegah dan melindungi umat Islam dari pengaruh buruk yang lazim dikerjakan para ahli maksiat.
d. Perayaan Malam Tahun Baru Adalah Bid’ah
Syariat Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW adalah syariat yang lengkap dan sudah tuntas. Tidak ada lagi yang tertinggal.
Sedangkan fenomena sebagian umat Islam yang mengadakan perayaan malam tahun baru masehi di masjid-masijd dengan melakukan shalat malam berjamaah, tanpa alasan lain kecuali karena datangnya malam tahun baru, adalah sebuah perbuatan bid’ah yang tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah SAW, para shahabat dan salafus shalih.
Maka hukumnya bid’ah bila khusus untuk even malam tahun baru digelar ibadah ritual tertentu, seperti qiyamullail, doa bersama, istighatsah, renungan malam, tafakkur alam, atau ibadah mahdhah lainnya. Karena tidak ada landasan syar’inya.
2. Pendapat yang Menghalalkan
Pendapat yang menghalalkan berangkat dari argumentasi bahwa perayaan malam tahun baru masehi tidak selalu terkait dengan ritual agama tertentu. Semua tergantung niatnya. Kalau diniatkan untuk beribadah atau ikut-ikutan orang kafir, maka hukumnya haram. Tetapi tidak diniatkan mengikuti ritual orang kafir, maka tidak ada larangannya.
Mereka mengambil perbandingan dengan liburnya umat Islam di hari natal. Kenyataannya setiap ada tanggal merah di kalender karena natal, tahun baru, kenaikan Isa, paskah dan sejenisnya, umat Islam pun ikut-ikutan libur kerja dan sekolah. Bahkan bank-bank syariah, sekolah Islam, pesantren, departemen Agama RI dan institusi-institusi keIslaman lainnya juga ikut libur. Apakah liburnya umat Islam karena hari-hari besar kristen itu termasuk ikut merayakan hari besar mereka?
Umumnya kita akan menjawab bahwa hal itu tergantung niatnya. Kalau kita niatkan untuk merayakan, maka hukumnya haram. Tapi kalau tidak diniatkan merayakan, maka hukumnya boleh-boleh saja.
Demikian juga dengan ikutan perayaan malam tahun baru, kalau diniatkan ibadah dan ikut-ikutan tradisi bangsa kafir, maka hukumnya haram. Tapi bila tanpa niat yang demikian, tidak mengapa hukumnya.
Adapun kebiasaan orang-orang merayakan malam tahun baru dengan minum khamar, zina dan serangkaian maksiat, tentu hukumnya haram. Namun bila yang dilakukan bukan maksiat, tentu keharamannya tidak ada. Yang haram adalah maksiatnya, bukan merayakan malam tahun barunya.
Misalnya, umat Islam memanfaatkan even malam tahun baru untuk melakukan hal-hal positif, seperti memberi makan fakir miskin, menyantuni panti asuhan, membersihkan lingkungan dan sebagainya.
Demikianlah ringkasan singkat tentang perbedaan pandangan dari beragam kalangan tentang hukum umat Islam merayakan malam tahun baru.

Hari Raya Umat Islam Hanya ada Dua
Dalam agama Islam, yang namanya hari raya hanya ada dua saja, yaitu hari ‘Idul Fithr dan‘Idul Adha. Selebihnya, tidak ada pensyariatannya, sehingga sebagai muslim, tidak ada kepentingan apapun untuk merayakan datangnya tahun baru.
Namun ketika harus menjawab, apakah bila ikut merayakannya akan berdosa, tentu jawabannya akan menjadi beragam. Yang jelas haramnya adalah bila mengikuti perayaan agama tertentu. Hukumnya telah disepakati haram. Artinya, seorang muslim diharamkan mengikuti ritual agama selain Islam, termasuk ikut merayakan hari tersebut.
Maka semua bentuk Natal bersama, atau apapun ritual agama lainnya, haram dilakukan oleh umat Islam. Dan larangannya bersifat mutlak, bukan sekedar mengada-ada.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 7 Maret tahun 1981/ 1 Jumadil Awwal 1401 H telah mengeluarkan fatwa haramnya natal bersama yang ditanda-tangani oleh ketuanya KH M. Syukri Ghazali. Salah satu kutipannya adalah:
  • Perayaan Natal di Indonesia meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa AS, akan tetapi Natal itu tidak dapat dipisahkan dari soal-soal yang diterangkan di atas.
  • Mengikuti upacara Natal bersama bagi ummat Islam hukumnya haram.
  • Agar ummat Islam tidak terjerumus kepada syubhat dan larangan Allah SWT dianjurkan untuk tidak mengikuti kegitan-kegiatan Natal.
Namun bagaimana dengan perayaan yang tidak terkait unsur agama, melainkan hanya terkait dengan kebiasaan suatu masyarakat atau suatu bangsa?
Sebagian kalangan masih bersikeras untuk mengaitkan perayaan datangnya tahun baru dengan kegiatan bangsa-bangsa non-muslim. Dan meski tidak langsung terkait dengan masalah ritual agama, tetap dianggap haram. Pasalnya, perbuatan itu merupakan tasyabbuh (menyerupai) orang kafir, meski tidak terkait dengan ritual keagamaan. Mereka mengajukan dalil bahwa Rasulullah SAW melarang tasyabbuh bil kuffar
Dari Ibnu Umar ra. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang menyerupa suatu kaum, maka dia termasuk di antara mereka. (HR Abu Daud)
Dari Abdullah bin Amr berkata bahwa orang yang mendirikan Nairuz dan Mahrajah di atas tanah orang-orang musyrik serta menyerupai mereka hingga wafat, maka di hari kiamat akan dibangkitkan bersama dengan mereka.
Tasyabbuh di sini bersaifat mutlak, baik terkait hal-hal yang bersifat ritual agama ataupun yang tidak terkait.
Namun sebagian kalangan secara tegas memberikan batasan, yaitu hanya hal-hal yang memang terkait dengan agama saja yang diharamkan buat kita untuk menyerupai. Sedangkan pada hal-hal lain yang tidak terkait dengan ritual agama, maka tidak ada larangan. Misalnya dalam perayaan tahun baru, menurut mereka umumnya orang tidak mengaitkan perayaan tahun baru dengan ritual agama. Di berbagai belahan dunia, orang-orang melakukannya bahkan diiringi dengan pesta dan lainnya.Tetapi bukan di dalam rumah ibadah, juga bukan perayaan agama.
Dengan demikian, pada dasarnya tidak salah bila bangsa itu merayakannya, meski mereka memeluk agama Islam.
Namun lepas dari dua kutub perbedaan pendapat ini, paling tidak buat kita umat Islam yang bukan orang Barat, perlu rasanya kita mengevaluasi dan berkaca diri terhadap perayaan malam tahun baru.
Pertama, biar bagaimana pun perayaan malam tahun baru tidak ada tuntunannya dari Rasulullah SAW. Kalau pun dikerjakan tidak ada pahalanya, bahkan sebagian ulama mengatakannya sebagai bid’ah dan peniruan terhadap orang kafir.
Kedua, tidak ada keuntungan apapun secara moril maupun materil untuk melakukan perayaan itu. Umumnya hanya sekedar latah dan ikut-ikutan, terutama buat kita bangsa timur yang sedang mengalami degradasi pengaruh pola hidup western. Bahkan seringkali malah sekedar pesta yang membuang-buang harta secara percuma
Ketiga, bila perayaan ini selalu dikerjakan akan menjadi sebuah tradisi tersendir, dikhawatirkan pada suatu saat akan dianggap sebagai sebuah kewajiban, bahkan menjadi ritual agama. Padahal perayaan itu hanyalah budaya impor yang bukan asli budaya bangsa kita.
Keempat, karena semua pertimbangan di atas, sebaiknya sebagai muslim kita tidak perlu mentradisikan acara apapun, meski tahajud atau mabit atau sejenisnya secara massal. Kalaulah ingin mengadakan malam pembinaan atau apapun, sebaiknya hindari untuk dilakukan pada malam tahun baru, agar tidak terkesan sebagai bagian dari perayaan. Meski belum tentu menjadi haram hukumnya.

Jalan Tengah Perbedaan Pendapat
Para ulama dengan berbagai latar belakang kehidupan, tentunya punya niat baik, yaitu sebisa mungkin berhati-hati dalam mengeluarkan fatwa, agar umat tidak terperosok ke jurang kemungkaran.
Salah satu bentuk polemik tentang masalah perayaan itu adalah ditetapkannya hari libur atau tanggal merah di hari-hari raya agama lain. Yang jadi perdebatan, apakah bila kita meliburkan kegiatan sekolah atau kantor pada tanggal 25 Desember itu, kita sudah dianggap ikut merayakannya?
Sebagian berpendapat bahwa kalau cuma libur tidak bisa dikatakan sebagai ikut merayakan, lha wong pemerintah memang meliburkan, ya kita ikut libur saja. Tapi niat di dalam hati sama sekali tidak untuk merayakannya.
Namun yang lain menolak, kalau pada tanggal 25 Desember itu umat Islam pakai acara ikut-ikutan libur, suka tidak suka, sama saja mereka termasuk ikut merayakan hari raya agama lain. Maka sebagian madrasah dan pesantren memutuskan bahwa pada tanggal itu tidak libur. Pelajaran tetap berlangsung seperti biasa.
Sekarang begitu juga, ketika pada tanggal 1 Januari ditetapkan oleh Pemerintah sebagai hari libur nasional, muncul juga perbedaan pendapat. Bolehkah umat Islam ikut libur di tahun baru? Apakah kalau ikut libur berarti termasuk ikut merayakan hari besar agama lain?
Lalu muncul lagi alternatif, dari pada libur diisi dengan acarahura-hura, mengapa tidak diisi saja dengan kegiatan keagamaan yang bermanfaat, seperti melakukan pengajian, dzikir atau bahkan qiyamullail. Anggap saja memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan.
Dan hasilnya sudah bisa diduga dengan pasti, yaituakan ada kalangan yang menolak mentah-mentah kebolehannya. Mereka mengatakan bahwa pengajian, dzikir atau qiyamullaih di malam tahun baru adalah bid’ah yang diada-adakan, tidak ada contoh dari sunnah Rasulullah SAW.
Lebih parah lagi, ada yang bahkan lebih ektrem sampai mengatakan kalau malam tahun baru kita mengadakan pengajian, dzikir, atau qiyamullail, bukan sekedar bid’ah tetapi sudah sesat dan masuk neraka. Wah…
Jadi semua itu nanti akan kembali kepada paradigma kita dalam memandang, apakah kita akan menjadi orang yang sangat mutasyaddid, mutadhayyiq, ketat dan terlalu waspada? Ataukah kita akan menjadi mutasahil, muwassi’, longgar dan tidak terlalu meributkan?
Kedua aliran ini akan terus ada sepanjang zaman, sebagaimana dahulu di masa shahabat kita juga mengenal dua karakter ini. Yang mutasyaddid diwakili oleh Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu dan beberapa shahabat lain, sedang yang muwassa’ diwakili oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu dan lainnya.
Adakah Jalan Tengah?
Insya Allah, ada jalan tengah yang sekiranya bisa kita pertimbangkan. Misalnya, kalau dasarnya memang tidak ada budaya atau kebiasaan untuk bertahun baru dengan kegiatan semacam pengajian dan sejenisnya, sebaiknya memang tidak usah digagas sejak dari semula. Biar tidak menjadi bid’ah baru.
Akan tetapi kalau kita berada pada masyarakat yang sudah harga mati untuk merayakan tahun baru, suka tidak suka tetap harus ada kegiatan, mungkin akan lain lagi ceritanya. Tugas kita saat itu mungkin boleh saja sedikit berdiplomasi. Misalnya, tidak ada salahnya kalaukitamengusulkan agar acaranya dibuat yang positif seperti pengajian.
Dari pada kegiatannya dangdutan, begadang semalam suntuk atau konser musik, kan lebih baik kalau digelar saja dalam bentuk pengajian. Anggaplah sebagai proses menuju kepada pemahaman Islam yang lebih baik nantinya, tetapi dengan cara perlahan-lahan.
Kalau kita tidak bisa menghilangkan budaya yang sudah terlanjur mengakar dengan sekali tebang, maka setidaknya arahnya yang dibenarkan secara perlahan-lahan. Kira-kira ide dasarnya demikian.
Tetapi yang kami sebut sebagai jalan tengah ini bukan berarti harga mati. Ini cuma sebuah pandangan, yang mungkin benar dan mungkin juga tidak. Namanya saja sekedar pendapat. Tetap saja menyisakan ruang untuk berbeda pendapat. Dan mungkin suatu ketika kami koreksi ulang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar