Subhanallah

BERTAUBAT DAN MEMOHON AMPUNAN KEPADA ALLAH


Sesungguhnya sifat manusia itu adalah salah dan lupa. Kita banyak berbuat salah/dosa baik yang disengaja atau pun yang tidak disengaja. Setiap dosa yang kita kerjakan akan terus menumpuk. Balasan dosa adalah siksa dari Allah. Semakin banyak dosa yang kita kerjakan, semakin besar pula siksa yang akan kita terima.

Untuk mengurangi/menghapus dosa, maka kita harus bertaubat. Memohon ampun kepada Allah:
Allah Ta’ala berfirman: “Dan bertaubatlah engkau semua kepada Allah, hai sekalian orang Mu’min, supaya engkau semua memperoleh kebahagiaan.” (an-Nur: 31)
“Hendaklah kamu meminta ampun kepada Allah, agar kamu mendapat rahmat.” [An Naml 46]
Allah Ta’ala berfirman lagi: “Mohon ampunlah kepada Tuhanmu semua dan bertaubatlah kepadaNya.” (Hud: 3)
Jangankan kita yang banyak berbuat dosa. Nabi Muhammad SAW yang maksum dan dijamin Allah masuk surga saja bertaubat kepada Allah 100 x setiap hari:
Dari Aghar bin Yasar al-Muzani r.a. katanya: Rasulullah s.a.w. bersabda: “Hai sekalian manusia, bertaubatlah kepada Allah dan mohonlah pengampunan daripadaNya, karena sesungguhnya saya ini bertaubat dalam sehari seratus kali.” (Riwayat Muslim)
Jangan takut Allah menolak tobat kita. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Penerima Taubat:
Dalam riwayat Muslim disebutkan demikian: “Sesungguhnya Allah itu lebih gembira dengan taubat hambaNya ketika ia bertaubat kepadaNya daripada gembiranya seorang dari engkau semua yang berada di atas kendaraannya -yang dimaksud ialah untanya- dan berada di suatu tanah yang luas, kemudian kehilangan kendaraannya itu dari dirinya, sedangkan di situ ada makanan dan minumannya. Orang tadi lalu berputus-asa. Kemudian ia mendatangi sebuah pohon terus tidur berbaring di bawah naungannya, sedang hatinya sudah berputus-asa sama sekali dari kendaraannya tersebut. Tiba-tiba di kala ia berkeadaan sebagaimana di atas itu, kendaraannya itu tampak berdiri di sisinya, lalu ia mengambil ikatnya. Oleh sebab sangat gembiranya maka ia berkata: “Ya Allah, Engkau adalah hambaku dan aku adalah TuhanMu”. Ia menjadi salah ucapannya karena amat gembiranya.”
Jadi kegembiraan Allah Ta’ala di kala mengetahui ada hambaNya yang bertaubat itu adalah lebih sangat dari kegembiraan orang yang tersebut dalam cerita di atas itu.
Taubat akan diterima sebelum orang itu sekarat atau hari kiamat:
Dari Abu Musa Abdullah bin Qais al-Asy’ari r.a., dari Nabi s.a.w., sabdanya: “Sesungguhnya Allah Ta’ala itu membeberkan tanganNya -yakni kerahmatanNya- di waktu malam untuk menerima taubatnya orang yang berbuat kesalahan di waktu siang dan juga membeberkan tanganNya di waktu siang untuk menerima taubatnya orang yang berbuat kesalahan di waktu malam. Demikian ini terus menerus sampai terbitnya matahari dari arah barat -yakni di saat hampir tibanya hari kiamat, karena setelah ini terjadi, tidak diterima lagi taubatnya seorang.” (Riwayat Muslim)
Dari Abu Hurairah r.a., katanya: Rasulullah s.a.w. bersabda: “Barangsiapa bertaubat sebelum matahari terbit dari arah barat, maka Allah menerima taubatnya orang itu.” (Riwayat Muslim)
“Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan : “Sesungguhnya saya bertaubat sekarang.” Dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih.” [An Nisaa’ 18]
Dari Abu Abdur Rahman yaitu Abdullah bin Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhuma dari Nabi s.a.w., sabdanya: “Sesungguhnya Allah ‘Azzawajalla itu menerima taubatnya seorang hamba selama ruhnya belum sampai di kerongkongannya -yakni ketika akan meninggal dunia.” Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan ia mengatakan bahwa ini adalah hadits hasan.
Sesungguhnya Allah menerima taubat orang yang bertobat termasuk pelaku dosa besar seperti zina apalagi jika dia rela menerima hukum rajam sebagai hukuman bagi pezina:
Dari Abu Nujaid (dengan dhammahnya nun dan fathahnya jim) yaitu Imran bin Hushain al-Khuza’i radhiallahu ‘anhuma bahwasanya ada seorang wanita dari suku Juhainah mendatangi Rasulullah s.a.w. dan ia sedang dalam keadaan hamil karena perbuatan zina. Kemudian ia berkata: “Ya Rasulullah, saya telah melakukan sesuatu perbuatan yang harus dikenakan had -hukuman- maka tegakkanlah had itu atas diriku.” Nabiyullah s.a.w. lalu memanggil wali wanita itu lalu bersabda: “Berbuat baiklah kepada wanita ini dan apabila telah melahirkan -kandungannya, maka datanglah padaku dengan membawanya.” Wali tersebut melakukan apa yang diperintahkan. Setelah bayinya lahir -lalu beliau s.a.w. memerintahkan untuk memberi hukuman, wanita itu diikatlah pada pakaiannya, kemudian dirajamlah. Selanjutnya beliau s.a.w. menyembahyangi jenazahnya. Umar berkata pada beliau: “Apakah Tuan menyembahyangi jenazahnya, ya Rasulullah, sedangkan ia telah berzina?” Beliau s.a.w. bersabda: “Ia telah bertaubat benar-benar, andaikata taubatnya itu dibagikan kepada tujuhpuluh orang dari penduduk Madinah, pasti masih mencukupi. Adakah pernah engkau menemukan seorang yang lebih utama dari orang yang suka mendermakan jiwanya semata-mata karena mencari keridhaan Allah ‘Azzawajalla.” (Riwayat Muslim)
Jika dosa anda begitu banyak dan begitu besar, jangan takut untuk bertobat. Sebab Allah itu Maha Pengampun. Sifat Pengampun Allah jauh lebih besar daripada dosa anda jika anda bertobat. Bahkan seandainya dosa itu sebanyak bintang di langit, sebanyak pasir di pantai, atau sebanyak buih di lautan, niscaya Allah akan mengampuninya jika anda sungguh bertobat kepada Allah:
“Sesungguhnya seorang yang melakukan ibadah haji waktu keluar dari rumahnya, setiap langkahnya Allah SWT menulis kebajikan dan menggugurkan dosanya kemudian apabila mereka wukuf di Arofah, Allah membangga-banggakan kepada malaikat dengan ungkapan: “Lihatlah kepada hamba-hamba-Ku dia mendatangi-Ku dengan rambut kusut masai, Saya mempersaksikannya kepadamu sesungguhnya Aku mengampuni segala dosanya walaupun sebanyak jumlah bintang di langit dan sebanyak butir kerikil padang pasir. Dan apabila mereka melontar jamarat tidak ada seorangpun yang tahu apa imbalan baginya sampai ia dibangkitkan Allah SWT di Hari Kiamat. Dan apabila mereka memotong rambutnya, maka ia memiliki cahaya pada hari kemudian, bagi setiap rambut yang gugur dari kepalanya. Apabila telah selesai thawafnya di Baitullah, keluarlah ia dari dosanya seperti halnya bayi yang baru dilahirkan ibunya (bersih dari dosa).” (HR. Ibnu Habban dari Umar)
Diriwayatkan oleh Usman B. Harun Al-Qurasyi: Haddasana I’sam b. Qudamah dari A’tiah Al-u’fy dari Abi said Al-Khudry secara marfuk tetapi Nabi S.A.W .bersabda : Diampunkan dosanya walaupun sebanyak bilangan pasir dan buih di lautan atau bilangan bintang di langit .Dikeluarkan oleh Attabrany di dalam Addua’ (1784) dan Ibnu A’sakir di dalam Tarikh Damsyik (14 /351/1-2).
Allah Yang Maha Agung dan Maha Mulia berfirman: “Sekiranya dosa-dosamu sebanyak jumlah bintang-bintang di langit, sebanyak tetesan hujan dan daun-daun pepohonan, butiran pasir dan sebanyak jumlah hari di dunia, niscaya Dia mengampunimu. Itulah karunia yang kemuliaan dari Allah setelah kamu berpuasa di bulan Sya’ban.” Hadis ini bersumber dari Muhammad bin Ahmad Al-Ma’adi, dari Muhammad bin Al-Husein, dari Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Ali, dari Al-Hasan bin Al-Hasan bin Muhammad dari ayahnya, dari Yahya bin Abbas, dari Ali bin ‘Ashim Al-Wasithi, dari Atha’ bin Saib, dari Said bin Jubair dari Ibnu Abbas.(Asyhur Ats-Tsalatsah: 47-49)
“Dan Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedang kamu berada di antara mereka. Dan tidaklah (pula) Allah akan mengazab mereka, sedang mereka meminta ampun” [Al Anfaal 33]
Cara bertobat yang paling bagus adalah dengan Taubat Nasuha atau Taubat yang sungguh-sungguh. Ini bukan tobat sambel yang begitu pedas kapok sebentar, tapi besok diulangi lagi.
Dan lagi firmanNya: “Hai sekalian orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang nashuha -yakni yang sebenar-benarnya.” (at-Tahrim:8)
Taubat nashuha itu wajib dilakukan dengan cara menghentikan perbuatan maksiat/dosa. Kemudian menyesal sedalam-dalamnya atas dosa yang telah dia kerjakan. Kemudian berjanji dan berusaha untuk tidak mengulang dosa itu kembali. Meminta ampunan kepada Allah. Jika dia berdosa kepada manusia, dia harus minta maaf kepada orang yang dia zhalimi. Jika dia berhutang atau mengambil barang orang lain, hutang harus dibayar dan barang harus dikembalikan.
Ada bacaan istighfar untuk minta ampun kepada Allah. Paling singkat adalah astaghfirullah (aku minta ampun kepada Allah). Kemudian “Astaghfirullahal ‘Azhiim” (aku minta ampun kepada Allah yang Maha Besar).
“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma’aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.” [Al Baqarah 286]
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah beriman, maka ampunilah segala dosa kami dan peliharalah kami dari siksa neraka,” [Ali Imran 16]
“Ya Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang banyak berbakti.” [Ali ‘Imran 193]
“Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka ampunilah kami dan berilah kami rahmat dan Engkau adalah Pemberi rahmat Yang Paling Baik.” [Al Mu’minuun 109]
“Ya Tuhanku! Ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan. Dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim itu selain kebinasaan.” [Nuh 28]
Sabda Rasulullah saw :
Raja dari semua doa mohon pengampunan adalah kau ucapkan : “(Wahai Allah, Engkau Tuhanku, Tiada Tuhan selain Engkau, Engkau yg menciptaku, dan aku adalah Hamba Mu, dan Aku ada pada janji dan sumpah setiaku (syahadat), dan aku berbuat semampuku (menunaikan janji dan sumpahku itu), aku berlindung pada Mu dari keburukan yg kuperbuat, aku sadari kenikmatan Mu atasku, dan aku sadari pula perbuatan dosa dosaku pada Mu, maka ampunilah aku, karena tiada yg mengampuni dosa kecuali Engkau). Barangsiapa yg mengucapkannya di siang hari dg mendalami maknanya lalu ia wafat dihari itu maka ia masuk sorga, barangsiapa yg mengucapkannya dimalam hari dg mendalami maknanya dan ia wafat sebelum pagi maka ia masuk sorga” (Shahih Bukhari)
Sumber:
Riyadhus Shalihin HaditsWeb 4.0 Bab 2. Taubat
http://www.kbiharofahmalang.com/semua-hadits.html
http://www.oocities.org/collegepark/campus/8690/klinik/klinik14.htm
http://alibastomi.blogspot.com/2009/07/keutamaan-bulan-syaban.html
http://apresiasi-rofiuddin.blogspot.com/2010/01/raja-dari-semua-bacaan-istighfar.html




TUNTUTAN BERTAUBAT KEPADA ALLAH


Tekad yang kuat

Jika penyesalan itu berkaitan dengan masa lalu dan kesalahan yang telah ia perbuat; ada dimensi dalam taubat yang berkaitan dengan masa depan, dan tentang probabilitas ia melakukan pengulangan perbuatan dosa itu kembali, serta bagaimana mengganti kesalahan yang telah ia perbuat. Yaitu dengan bertekad untuk meninggalkan maksiat itu dan bertaubat darinya secara total, dan tidak akan kembali melakukannya selama-lamanya. Seperti susu yang tidak mungkin kembali ke puting hewan setelah diperah. Ini semua berpulang pada keinginan dan tekad orang itu. Dan tekad itu harus kuat betul, bukan keinginan yang dilandasi oleh keragu-raguan. Tidak seperti mereka yang pada pagi harinya bertaubat sementara pada sore harinya kembali mengulangi lagi dosanya!
Yang terpenting dalam masalah tekadnya ini adalah agar tekad itu kuat dan betul-betul, saat bertaubat. Dengan tanpa disertai oleh keraguan atau kerinduan untuk kembali melakukan kemaksiatan, atau juga berpikir untuk mengerjakannya kembali. Taubat itu tidak batal jika suatu saat tekadnya itu sedikit melemah kemudian ia terlena oleh dirinya, tertipu oleh syaitan sehingga ia terpeleset, dan kembali melakukan kemaksiatan.
Dalam kasus seperti ini, ia harus segera melakukan taubat, menyesal dan menyusun tekad lagi. Dan ia tidak perlu putus-asa takut taubatnya tidak diterima jika memang tekadnya tulus. Allah SWT berfirman:
"Maka sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertaubat" [QS. al Isra: 25].
Al-Awwaab adalah orang yang sering meminta ampunan kepada Allah SWT; setiap kali ia melakukan dosa ia mengetahui bahwa ia memiliki Rabb Yang Maha Mengampuni dosa, maka dia segera melakukan istighfar dan diapun mendapatkan ampunan.
Imam Ibnu Katsir berkata: "Sedangkan jika ia bertekad untuk bertaubat dan memegang teguh tekadnya, maka itu akan menghapuskan kesalahan-kesalahannya pada masa lalu. Seperti terdapat dalam hadits sahjih "Islam menghapuskan apa yang sebelumnya, dan taubat menghapuskan dosa yang sebelumnya".
Ibnu Katsir berkata: "apakah syarat taubat nasuha itu orang harus tetap bersikap seperti itu hingga ia mati, seperti diungkapkan dalam hadits dan atsar: "kemudian ia tidak kembali melakukannya selama-lamanya", ataukah cukup bertekad untuk tidak mengulangi lagi, untuk menghapus dosa yang telah lalu, sehingga ketika ia kembali melakukan dosa setelah itu, maka ia tidak merusak taubatnya dan menghidupkan kembali dosa yang telah terhapuskan, dengan melihat generalitas pengertian hadits: "Taubat menghapus dosa yang sebelumnya" [Tafsir Ibnu Katsir: 4/ 392 , cet. Al Halabi.]?.
Ibnu Qayyim membicarakan hal ini dalam kitabnya "Madarij Salikin" dan menyebut dua pendapat:
Satu pendapat mengharuskan agar orang itu tidak mengulangi kembali dosanya sama sekali. Dan berkata: ketika ia kembali melakukan dosa, maka jelaslah taubatnya yang dahulu itu batal dan tidak sah.
Sedangkan menurut pendapat kalangan mayoritas, hal itu tidak menjadi syarat. Kesahihan taubat hanya ditentukan oleh tindakannya meninggalkan dosa itu, dan bertaubat darinya, serta bertekad dengan kuat untuk tidak mengulanginya lagi. Dan jika ia mengulanginya lagi padahal ia dahulu telah bertekad untuk tidak mengulang dosanya itu, maka saat itu ia seperti orang yang melakukan kemaksiatan dari permulaan sekali, sehingga taubatnya yang lalu tidak batal.
Ia berkata: masalah ini dibangun di atas dasar pertanyaan: "Apakah seorang hamba yang bertaubat dari suatu dosa kemudian ia mengulanginya dosanya itu, ia kembali menanggung dosa yang telah ia mintakan taubatnya sebelumnya, sehingga ia harus menanggung dosa yang lalu dan sekarang ini, jika ia mati saat masih melakukan maksiat? Ataukah itu telah terhapus, sehingga ia tidak lagi menanggung dosanya, namun hanya menanggung dosa yang terakhir itu?"
Dalam masalah ini ada dua pendapat:
Satu kelompok berpendapat: ia kembali menanggung dosa yang telah ia mintakan taubatnya dahulu itu, karena taubatnya telah rusak dan batal ketika ia mengulangi dosanya. Mereka berkata: karena taubat dari dosa adalah seperti keislaman dengan kekafiran. Seorang yang kafir ketika ia masuk Islam maka keislamannya itu akan menghapuskan seluruh dosa kekafiran dan dosa yang pernah dilakukannya. Kemudian jika ia murtad, dosanya yang lalu itu kembali ia tanggung ditambah dengan dosa murtad. Seperti terdapat dalam hadits Nabi Saw:
"Barangsiapa yang beramal baik dalam Islam (setelah masuk ke dalamnya dari kejahiliyahan) maka ia tidak akan dipertanyakan akan apa yang telah diperbuatnya pada masa jahiliah. Dan siapa yang berbuat buruk dalam Islam, maka ia akan dimintakan pertanggungjawaban akan dosanya pada yang pertama (saat masih jahiliah) dan yang lainnya (setelah Islam)".
Ini adalah orang yang masuk Islam namun merusakan keislamannya itu. Dan telah diketahui bersama bahwa kemurtadan adalah perusakan yang paling besar terhadap keislaman seseorang. Maka ia akan kembali menanggung dosa yang telah ia lakukan dalam kekafirannya sebelum ia masuk Islam, dan keislaman yang pernah ia rasakan itu tidak menghapuskan dosa-dosa yang lama iu. Demikian juga dosa orang yang taubatnya ia langgar, maka dosa yang dilakukan sebelum taubat yang ia langgar itu kembali ia tanggung. Juga tidak menghalangi dosa yang ia lakukan kemudian.
Mereka berkata: karena kesahihan taubat disyaratkan kontinuitasnya dan terus dijalani, maka sesuatu yang tergantung dengan suatu syarat akan hilang ketika syarat itu lenyap. Seperti kesahihan Islam disayaratkan kontinuitasnya dan terus dijalaninya. Mereka berkata: taubat adalah wajib secara ketat sepanjang usia seseorang. Masanya adalah sepanjang usia orang itu. Oleh karena itu, hukumnya-pun harus terus ditaati sepanjang usianya. Maka bagi dia, masa sepanjang usianya itu adalah seperti orang yang menahan diri dari melakukan hal-hal yang membatalkan puasa ketika ia berpuasa pada hari itu. Maka jika sepanjang hari ia menahan diri dari yang membatalkan puasa, kemudian ia melakukan perbuatan yang membatalkan puasa pada sore harinya, niscaya seluruh puasanya yang telah ia jalani dari pagi hari itu otomaits batal, dan tidak dinilai sebagai puasa. Dan ia sama seperti orang yang tidak puasa sama sekali.
Mereka berkata: ini didukung oleh hadits sahih, yaitu sabda Rasulullah Saw:
"Sesungguhnya seorang hamba telah beramal dengan amal penghuni surga, hingga antara dirinya dengan surga itu sekadar satu lengan, kemudian ketentuan takdirnya datang hingga akhirnya ia beramal dengan amal penghuni neraka sehingga iapun masuk ke neraka itu".
Ini lebih umum dari amal yang kedua itu, suatu kekafiran yang menghantarkan kepada neraka selamanya, atau kemaksiatan yang menghantarkannya ke neraka. Karena Rasulullah Saw tidak mensabdakan: "maka ia murtad dan iapun meninggalkan Islam". Namun menghabarkan bahwa: ia beramal dengan amal yang menghantarkannya ke neraka. Dan dalam sebagian kitab sunan terdapat: "Ada seorang hamba yang telah melakukan ketaatan kepada Allah SWT selama enam puluh tahun, dan ketika ia menjelang kematiannya ia melakukan kecurangan dalam berwasiat maka iapun masuk neraka".
Penutup yang buruk lebih umum dari penutup dengan kekafiran atau kemaksiatan. Dan seluruh amal perbuatan dinilai dengan akhir amal itu.
Sedangkan kelompok kedua -- yaitu mereka yang berkata bahwa dosa yang lama yang telah ia mintakan taubatnya tidak kembali ditanggungnya jika ia melanggar taubatnya itu-- berdalil bahwa dosa itu telah terhapus dengan taubat. Maka ia seperti orang yang tidak melakukannya sama sekali, sehingga ia seperti tidak ada. Sehingga ia tidak kembali ke situ setelahnya. Namun yang harus ia tanggung hanya dosa yang baru itu, bukan dosa yang lama.
Mereka berkata: tidak disyaratkan dalam kesahihan taubat itu ia tidak pernah berdosa hingga mati. Namun jika ia telah menyesal dan meninggalkan dosa serta bertekad untuk meninggalkan sama sekali perbuatannya itu, niscaya dosanya segera terhapuskan. Dan jika ia kembali melakukannya, ia memulai dari baru catatan dosanya itu.
Mereka berkata: ini tidak seperti kekafiran yang menghancurkan seluruh amal kebaikan. Karena kekafiran itu lain lagi masalahnya. Oleh karenanya ia menghapuskan seluruh kebaikan. Sedangkan kembali berdosa tidak menghapuskan amal kebaikan yang telah dilakukannya.
Mereka berkata: taubat adalah termasuk kebaikan yang paling besar. Maka jika taubat itu dibatalkan dengan melakukan dosa kembali, niscaya pahala-pahala itu juga terhapuskan. Pendapat itu tidak benar sama sekali. Itu sama seperti mazhab kaum khawarij yang mengkafirkan orang karena dosa yang ia perbuat. Dan kaum Mu'tazilah yang memasukkan orang yang berdosa besar dalam neraka, meskipun ia telah melakukan banyak amal yang baik. Kedua kelompok itu sepakat memasukkan orang-orang yang melakukan dosa-dosa besar dalam neraka. Namun khawarij mengkafirkan mereka, dan mu'tazilah menilai mereka fasik. Dan kedua mazhabn itu adalah batil dalam Islam. Bersebrangan dengan nash-nash, akal serta keadilan:
"Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar dzarrah, dan jika ada kebajikan sebesar dzarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya, dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar" [QS. an-Nisa: 40].
Mereka berkata: Imam Ahmad menyebutkan dalam musnadnya secara marfu' kepada Nabi Saw:
"Sesungguhnya Allah SWT mencintai hamba yang terfitnah (hingga melakukan dosa) dan sering meminta ampunan" [Hadits ini sanadnya dha'if jiddan/lemah sekali].
Aku berkata: ia adalah orang yang setiap kali melakukan dosa ia segera bertaubat dari dosa itu. Kalaulah mengulang dosa itu membatalkan taubatnya niscaya ia tidak disenangi oleh Rabbnya, malah menimbulkan kebencian-Nya.
Mereka berkata: Allah SWT mengaitkan diterimanya taubat dengan istighfar, tidak terus melakukan dosa, dan tidak mengulanginya. Allah SWT berfirman:
"Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? - Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui" [QS. Ali Imran: 135].
Terus melakukan dosa adalah: membiasakan hati dan diri untuk melakukan dosa setiap kali ada kesempatan untuk itu. Inilah yang menghalangi maghfirah dari Allah SWT.
Mereka berkata: Sedangkan kontinuitas taubat adalah syarat keabsahan kesempurnaan dan kemanfaatan taubat itu, bukan syarat keabsahan taubat atas dosa yang sebelumnya. Namun tidak demikian halnya dengan ibadah, seperti puasa selama satu hari penuh, serta bilangan raka'at dalam shalat. Karena ia adalah suatu ibadah secara utuh, sehingga ibadah itu tidak dapat diterima jika tidak terpenuhi seluruh rukun dan bagian-bagiannya. Sedangkan taubat, ia adalah adalah ibadah yang beragam sesuai dengan ragam dosa. Setiap dosa memiliki cara taubat tersendiri. Jika seseorang melakukan suatu ibadah dan tidak melakukan yang lain, itu tidak berarti ibadah yang dilakukannya itu tidak sah karena ia tidak mengerjakan ibadah yang lain, seperti telah disebutkan sebelumnya.
Namun, sama dengan ini adalah: orang yang puasa pada bulan Ramadlan kemudian ia membatalkan puasanya itu tanpa adanya uzur, maka apakah puasa yang ia batalkan itu membatalkan pahala puasa yang telah ia lakukan?
Contoh yang lain adalah orang yang shalat namun ia tidak berpuasa , atau yang yang menunaikan zakat namun tidak pernah melaksanakan ibadah hajji (padahal ia mampu).
Pokok masalah: taubat sebelumnya adalah kebaikan, sedangkan mengulang dosa itu adalah keburukan, maka pengulangan dosa itu itidak menghapus kebaikan itu, juga tidak membatalkan kebaikan yang dilakukan bersamaan dengannya.
Mereka berkata: ini dalam pokok-pokok (ushul) ahli sunnah lebih jelas. Mereka sepakat bahwa seseorang bisa mendapat perlindungan dari Allah SWT dan pada saat yang sama juga dibenci oleh-Nya. Atau ia dicintai Allah SWT namun ia juga sekaligus dibenci dari segi lain. Atau ada orang yang beriman namun masih mempunyai kemunafikan, juga keimanan dan kekafiran. Dan orang itu dapat lebih dekat kepada suatu sisi dari sisi yang lain. Sehingga ia menjadi kelompok sisi itu. Seperti firman Allah SWT: "Mereka pada hari itu lebih dekat kepada kekafiran dari padi keimanan"[QS. Ali Imran: 167]. Dan berfirman:
"Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain)" [QS. Yusuf: 106].
Allah SWT mengakui keimanan mereka, sambil menyebut kemusyrikan mereka. Namun jika bersama kemusyrikan ini juga terdapat pengingkaran terhadap Rasul-rasul Allah maka keimanannya kepada Allah SWT itu tidak bermakna lagi. Sedangkan jika mereka membenarkan apa yang dibawa oleh Rasulullah Saw, sementara mereka tetap melakukan beragam tindakan musyrik, itu tidak mengeluarkan mereka dari keimanan kepada para Rasul dan hari kiamat. Dan mereka berhak mendapatkan ancaman yang lebih besar daripada pelaku dosa-dosa besar.
Kemusyrikan mereka adalah dua macam: musyrik yang tersembunyi dan yang terang-terangan. Yang tersembunyi dapat diampuni, sedangkan yang terang-terangan tidak diampuni oleh Allah SWT kecuali dengan melakukan taubat dari pebuatannya itu. Karena Allah SWT tidak mengampuni kemusyrikan.
Dengan dasar ini, ahli sunnah mengatakan bahwa para pelaku dosa besar masuk neraka, namun setelah merasakan siksa neraka itu mereka akan keluar darinya dan masuk surga, karena adanya dua unsur pada dirinya.
Jika demikian, maka orang yang mengulang melakukan dosa setelah bertaubat adalah orang yang dibenci Allah SWT karena ia mengulangi dosanya, namun juga dicintai karena ia telah melakukan taubat dan amal ang yang baik sebelumnya. Dan Allah SWT telah menetapkan bagi segala seuatu sebab-sebabnya, dengan adil dan penuh hikmah, dan Allah SWT tidak sedikitpun melakukan kezhaliman.
"Dan sekali-kali tidaklah Tuhanmu menganiaya hamba-hamba (Nya)" [QS. Fushilat: 46].



KETIKA MELAKUKAN DOSA BESAR



Banyak pendosa yang telah melakukan
tahapan pertobatan itu dengan  baik dan tekun. Mereka selalu manangisi dosa masa lampaunya di dalam sujud tahajjudnya di tengah malam. Bahkan air matanya tak pernah bisa dibendung jika mengingat kembali
berbagai dosa yang pernah dilakukannya. Penyerahan diri secara total seperti ini mendapatkan janji pengampunan Allah SWT. Ada ulama yang pernah mengatakan bahwa: ”Air mata taubat itulah yang akan memadamkan api neraka. Bahkan Allah  SWT mencintainya,
sebagaimana hadis yang pernah dikutip AlGazali dalam kitabnya: ”Allah lebih senang mendengarkan jeritan taubatnmya para pendosa ketimbang gemuruh tasbihnya para ulama”.  Dalam Al-Qur’an juga ditegaskan
bahwa ”Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan mencintai orang-orang yang mensucikan diri. (QS. AlBaqarah/2:222). Yang penting bagi yang bersangkutan tidak mempermainkan Tuhan
dengan pembatalan-pembatalan taubat. Seorang sufi, Yahya bin Mu’adz pernah mengatakan: “Melakukan satu perbuatan dosa setelah taubat jauh lebih buruk dari pada melakukan 70 perbuatan dosa sebelum taubat. Kata Dzun Nun: “Beristighfar dari dosa tanpa berusaha melepaskankan diri dari dosa itu adalah taubatnya para pendusta. Barangsiapa bertaubat, kemudian tidak membatalkan taubatnya, maka ia termasuk orang bahagia”. Subhanallah, alangkah beruntungnya
orang yang demikian ini.
Bagi para pendosa tidak sepantasnya putus asa terhadap dosa-dosanya.  Sebesar apapun dosa seseorang pasti jauh lebih besar dosa pengampunan Tuhan. Tidak ada artinya dosa besar jika yang datang adalah wajah Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Yang penting bagi kita adalah penyerahan diri secara total terhadapnya. Terserah Dia. Jika Dia akan memasukkan kita ke dalam neraka itu adalah hak-Nya, tetapi tidak ada yang bisa menghalangi-Nya jika Dia akan memaafkan hamba-Nya. Apakah Dia akan menyiksa hamba-Nya yang sudah rebah dan bersujud di hadapan kebesaran-Nya sambil menagis memohon ampun dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada-Nya. Bukankah Dia lebih menonjol sebagai Tuhan Maha Pengasih dan Maha Pengampun ketimbang sebagai Tuhan Maha Pemarah dan Maha Penghukum. Tidak sedikit para pendosa mendapatkan pengampunan dan kasih sayang Tuhan. Allah SWT menganugrahkan bulan Ramadlan
sebagai bulan pengampunan tobat benarbenar perlu dimanfaatkan. Kerugian besar bagi setiap orang yang membiarkan bulan Ramadlan berlalu tanpa intensitas pertobatan dan penyadarn diri, sebab bulan Ramadlam yang akan datang belum tentu bersama kita.
Nasaruddin Uma



Taubat Pendosa Besar
Orang yang berbuat syirik (menyekutukan Allah), membunuh, dan berzina adalah orang yang telah melakukan dosa besar. Mereka adalah para pendosa besar.
Allah Swt. berfirman:
“Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya), (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina.” (QS. Al-Furqaan [25]: 68-69)
Firman Allah Swt. sebagaimana tersebut sering dijadikan dalil bahwa betapa besar dosa syirik, membunuh, dan berzina. Sungguh, mereka akan kekal dalam azab dan dalam keadaan terhina.
Penggunaan dalil tersebut tidak salah; memang demikianlah pembalasan bagi orang-orang yang berbuat syirik, membunuh, dan berzina. Na’udzu billah tsumma nau’dzu billahi min dzalik. Akan tetapi, ayat tersebut masih ada lanjutannya, kecuali (illa…) bagi orang-orang yang bertaubat, beriman, dan beramal shalih. Selengkapnya, marilah kita perhatikan ayat selanjutnya sebagai berikut:
“Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman, dan mengerjakan amal shalih; maka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan orang-orang yang bertaubat dan mengerjakan amal shalih, maka sesungguhnya dia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya.” (QS. Al-Furqaan [25]: 70-71)
Subhanallah, sungguh Allah Swt. adalah Dzat Yang Maha Penerima taubat bagi para hamba-Nya. Sebesar apa pun dosa manusia bila ia datang kepada Allah untuk memohon ampunan dan bertaubat maka tidak ada penghalang baginya.
Bila dahulu ia berbuat syirik maka ia datang kepada Allah memohon ampunan dan bertaubat untuk tidak berbuat syirik lagi; ia membersihkan hatinya dari noda syirik dan tidak akan berbuat syirik lagi. Demikian pula bila dahulu ia berzina atau membunuh, maka ia datang kepada Allah dengan memohon ampunan dan bertaubat untuk tidak berzina atau membunuh lagi.
Pintu taubat terbuka lebar untuk para pendosa selama ia mau bertaubat dan memohon ampunan. Senyampang nyawa belum di ujung tenggorokan; senyampang matahari belum terbit dari barat. Setelah bertaubat, amalannya adalah menebus kesalahan masa lalu dengan memperbanyak amal shalih.
Demikianlah, semoga kita termasuk orang yang bertaubat, beriman, dan beramal shalih.
Al-Faqir ila Rahmatillah,


MENSUCIKAN DIRI DALAM ISLAM

Perkara bersuci adalah diantara ajaran-ajaran yang terpenting dalam Islam. Karenanya kita tidak dapat menganggap ringan perkara ini. Adapun kehendak bersuci ini banyak sekali, diantaranya adalah seperti yang terkandung dalam firman Allah SWT yang artinya :

"Allah SWT bukan hendak menyusahkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu"
[ Q.S. Al Maidah : 6 ]
Jadi, perkara yang pertama yang dapat kita pahami tentang bersuci ini adalah bahwa Allah sama sekali tidak bertujuan untuk menyusahkan kita, tetapi semata-mata hendak membersihkan kita baik dari najis dan kotoran yang lainnya ataupun membersihkan kita dari segala dosa. Dan berhubungan dengan bersuci ini juga Rasulullah telah bersabda yang artinya :

"Anak kunci kepada shalat itu adalah bersuci"
[ Riwayat Abu Daud dan Tirmidzi ]
Dari hadits di atas kita juga dapat memahami bahwa bersuci adalah anak kunci shalat. Tidak sah shalat seseorang apabila dia tidak bersuci dari hadats kecil ataupun dari hadats besar, bukan saja ibadah shalatnya tidak diterima tetapi juga bisa jatuh berdosa, dan kalau seseorang itu tidak dapat mensucikan batinnya dari segala sifat-sifat terkeji seperti sombong, riyak, ujub, hasad dan lain-lain, kalau dia shalat maka dia termasuk kedalam golongan orang yang lalai dalam shalatnya, dan orang yang lalai dalam shalat ini akan dimasukkan kedalam Neraka Wail. Seterusnya perkara yang ketiga yang bisa kita pahami dalam masalah bersuci ini adalah seperti sabda Rasulullah SAW yang artinya :

"Bersuci adalah setengah dari iman"
[ Riwayat Tirmidzi dan Muslim ]

Dari sini dapat kita pahami bahwa begitu penting sekali kedudukan bersuci ini dalam Islam, dan bersuci ini juga ada hubungannya dengan soal-soal batin. Persoalan iman dan persoalan shalat ini saja ada hubungan yang erat dengan perkara kebatinan, sedangkan bersuci ini berkaitan langsung dengan iman dan shalat.

Tetapi perlu kita ketahui bahwa masalah bersuci ini bukan hal yang mudah, kalau sekedar mensucikan lahiriah saja seperti badan kita, yang terkena kotoran mudah saja kita basuh dengan air, tetapi yang sulit adalah membersihkan batin kita dari kotoran-kotoran mazmumah. Bukan hal yang mudah kita membersihkan hati kita dari perkara yang kotor, membersihkan pikiran kita dari berbagai paham dan ideologi yang berasal dari barat ataupun dari timur.

Oleh karena itu memang bukan mudah untuk mendapatkan kesempurnaah bersuci ini yaitu suci lahir dan suci batin, terutama bersuci batin ini yang amat susah sekali sedangkan bersuci batin ini adalah yang paling penting dari kedua bentuk bersuci tadi.

4 perkara mensucikan diri dalam islam

1. Mensucikan lahir
Mensucikan lahir kita dari hadats, najis-najis dan benda-benda yang tidak diperlukan lagi seperti kotoran yang terdapat pada anggota badan dan pakaian kita. Hadats terdiri dari dua jenis yaitu hadats kecil dan hadats besar. Takrif hadats kecil ialah tiap-tiap yang mewajibkan kita berwudhuk, yang menjadikan hadats kecil ini adalah apabila keluar benda dari mana saja saluran najis di tubuh kita, baik dari depan ataupun di bagian belakang. Dan untuk melakukan wudhuk ini hendaklah menggunakan air, kalau sekiranya sulit mendapatkan air maka barulah tayamum. Sedangkan hadats besar adalah perkara yang mewajibkan mandi. Diantaranya yang menjadikan hadats besar adalah seperti keluar mani, keluar darah haid, kedatangan nifas dan pertemuan antara kemaluan laki-laki dan perempuan, walaupun tidak keluar mani. Dan mandi ini juga bukan mandi biasa. Mandi yang dimaksudkan ada mempunyai syarat dan rukun tertentu, ada niat dan cara-caranya, dan juga dikatakan mandi disini adalah mengalirkan air ke seluruh tubuh seperti firman Allah yang artinya :

"Apabila kamu junub, maka hendaklah kamu bersuci"
[ Q. S. Al Maidah : 6 ]
Adapun rukun mandi terdiri dari dua, pertama niat dan yang kedua meratakan air keseluruh badan. Rukun-rukun ini harus ada dalam mandi junub. Kalau tidak ada maka tidak sahlah mandi itu. Bila kita niat umpamanya maka hendaklah niat dengan betul baik itu niat sebab junub ataupun haid. Dan yang penting lagi bahwa air yang digunakan untuk bersuci adalah air mutlak yaitu yang suci dan mensucikan.

2. Mensucikan anggota-anggota lahir kita dari dosa.
Yang dikatakan anggota lahir kita adalah tangan, mulut, mata, telinga, perut, kaki dan kemaluan. Semua anggota lahir kita itu hendaklah kita bersihkan dari membuat dosa-dosa. Memang bersuci seperti ini sangat sulit sekali. Mata kita umpamanya dapatkah kita hindarkan dari melihat perkara yang haram, yang kita tidak dapat melihatnya seperti melihat perempuan yang bukan muhrim. Sementara di zaman ini bukan saja betis perempuan yang terbuka bahkan paha dan dada pun telah terbuka. Jawabnya adalah sangat susah sekali. Keluar saja dari rumah untuk bekerja dan sebagainya maka akan terjadilah dosa-dosa yang dibuat oleh mata kita, bagaimana kita akan menghindarkannya ?? Begitu juga dengan mulut kita, sudahkah terhindar dari membicarakan hal-hal yang mengata-ngatai orang lain, memfitnah, mengadu domba dan dosa-dosa lainnya. Begitu juga dengan anggota yang lain, hidung kita, tangan kita, telinga kita, dapatkah kita elakkan tangan kita dari menyentuh benda-benda yang Allah larang untuk menyentuhnya, dapatkah kita hindarkan hidung kita dari membaui perkara yang haram, lalu kita lihat apakah kita dapat menghindarkan telinga kita dari perkara-perkara yang haram seperti mendengar lagu-lagu pop yang menghayalkan dan perkara-perkara yang membuat setiap hari telinga kita hanya mendengar maksiat, maka tidak heranlah kalau telinga kita sudah kental dengan dosa, hingga kebenaran yang datang tak bisa masuk lagi kedalamnya. Telinga kita sudah dipengaruhi dengan berbagai maksiat yang datang dari televisi, radio dan macam-macam lagi. Begitu juga dengan kaki kita dapatkah kita hindarkan dari berjalan ke tempat-tempat yang mungkar dan maksiat. Hari ini kemana saj akita berjalan ada saja kita lewati bermacam-macam mungkar dan maksiat. Apabila kaki telah sampai ke tempat itu walaupun kita tak mau, anggota lain kita terlibat dengan maksiat seperti mata, telinga, hidung dan yang lainnya.
Coba kita ingat-ingat dosa perut kita, dapatkah kita hindarkan perut kita dari makanan yang makruh dan syubhat. Sangat susah sekali karena di zaman sekarang ini makanan kita ditempa oleh berbagai ragam manusia yang tidak pikir halal dan haram, tidak memikirkan masalah syariat. Dan kalaupun kita bisa menjaga makanan kita, dapatkah kita hindarkan mendapat sumber uang yang tidak bercampur dengan perkara-perkara yang syubhat. Dapatkah kita hindarkan dari semua itu ??!
Ada juga sebagian orang yang menganggap setengah perkara bukan maksiat, bukan dosa seperti menari, menyanyi dan bermusik yang diharamkan syariat, sampai ada yang berkata : "Allah telah memberiku suara yang merdu, apa salahnya apabila kuperdengarkan suaraku kepada orang lain" . Orang seperti ini seolah-olah tidak mau menerima hakikat bahwa menyanyi, menari dan bermusik yang diharamkan syariat dan sebagainya itu sebagai suatu dosa.
Apabila dosa-dosa ini sudah terlalu banyak dalam diri seseorang itulah yang menyebabkan dia resah, gelisah, tidak tenteram dan sebagainya, sehingga apa yang dibuat semuanya mendatangkan kegelisahan, akhirnya timbul sakit jiwa, sebagian orang karena sakit jiwanya terlalu berat sanggup bunuh diri. Jadi dosa yang terjadi pada diri kita ini bersumber dari anggota-anggota lahir kita. Dosa-dosa itulah yang menimbulkan berbagai penyakit dalam masyarakat seperti bunuh diri, hisap ganja, minum arak dan sebagainya. Disini dapat kita perhatikan bahwa betapa susahnya hendak melakukan bersuci di tahap kedua ini karena hal-hal yang membuat kita jatuh berdosa begitu banyaknya, sedangkan dosa ini terbagi dua yaitu dosa besar seperti bunuh diri, membunuh, mencuri, berzina dan sebagainya, sedangkan dosa kecilpun bisa jatuh menjadi dosa besar apabila kita terus-menerus melakukannya dan menganggap ringan dosa kecil itu, ibarat selembar kertas putih yang terus menerus diperciki oleh titik-titik tinta hitam, lama kelamaan maka menghitamlah kertas putih itu. Demikianlah bagaimana dosa-dosa terjadi pada diri kita, kadang kita menyadarinya, tapi banyak dosa-dosa yang terjadi tanpa kita sadari. Dan untuk membersihkan diri dari dosa-dosa yang sedemikian bukanlah mudah. Sebab itu kalau kita tidak ada cita-cita dan azam yang kuat serta tidak ada ilmu pengetahuan rasanya membersihkan anggota yang lahir ini belum dapat kita melakukannya, maka perlulah kita merasa bimbang, karena kapan saja Allah bisa tamatkan riwayat kita sedangkan kita masih berlumuran dengan dosa takut-takut ke dalam Neraka lah tempat kita waliyazubillah. Oleh karena itu hendaklah nilai-nilai diri kita agar dapat terhindar diri dari maksiat semoga selamat kita di dunia dan di Akhirat.

3. Mensucikan diri dari sifat-sifat terkeji.
Seperti riyak, ujub, hasad dengki, gila pangkat, gila dunia, bakhil dan lain sebagainya. Bersuci di peringkat ini sangat sulit sekali, sifat-sifat inilah yang dikatakan sifat mazmumah. Kemudian kita juga harus membersihkan pikiran kita dari isme dan ideologi yang bertentangan dengan Islam. Bersuci pada tingkatan ini adalah bersuci yang berkaitan dengan perkara-perkara batin. Itu sebabnya bersuci disini lebih berat lagi untuk dilakukan dari yang dua tadi, banyak perkara yang perlu kita ketahui sebelum kita dapat mensucikan hati dan akal pikiran kita dari penyakit-penyakit batin ini. Yang pertama kita harus ada ilmu pengetahuan agama dengannya kita dapat menyuluh penyakit batin yang ada dalam pikiran dan hati kita. Ilmu ini adalah ilmu tasawuf, dengan ilmu ini kita dapat mendeteksi penyakit-penyakit hati seperti riyak, sombong dan yang lainnya. Yang kedua kita harus ada azam dan cita-cita untuk mengungkai dan mengikis penyakit-penyakit itu. Disini kita sudah bersiap untuk berperang untuk mencungkil penyakit-penyakit itu. Inilah yang dikatakan mujahadatun nafsi. Kalau kita tidak ada azam dan cita-cita yang kuat kita tidak akan mampu berperang melawan hawa nafsu kita karena sebagiannya telah asyik kita amalkan. Yang ketiga adalah kita harus sanggup menempuh jalan-jalan untuk mengungkai sifat mazmumah itu, mungkin jalannya melalui berpuasa maka paksalah kita untuk berpuas, kalau jalan menghilangkan takabur, sombong dan besar diri adalah dengan bergaul dengan orang-orang biasa, orang miskin dan sebagainya maka haruslah kita berbuat demikian, dan begitulah seterusnya.

4. Mensucikan rahasia kebatinan selain dari Allah.
Artinya mensucikan ingatan dari segala-galanya melainkan ingatan kepada Allah semata. Orang yang sudah berbuat demikian sudah tenggelam dalam ingatannya kepada Allah saja. Inilah maqam atau kedudukan yang paling tinggi di sisi Allah SWT. Inilah darjat para Nabi-Nabi dan Rasul-Rasul dan juga darjat bagi para Siddiqin atau orang-orang yang benar.